Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [2/153])
Hadits yang mulia ini mengandung pelajaran berharga, di antaranya:
-
Kemaksiatan yang terbesar adalah syirik, kemudian setelah itu pembunuhan tanpa alasan yang benar. Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa dosa besar yang terbesar setelah syirik adalah pembunuhan (lihat Syarh Muslim [2/154])
-
Sebagaimana amalan itu bertingkat-tingkat keutamaannya, demikian pula dosa. Ada dosa besar dan ada dosa kecil. Dosa besar pun bertingkat-tingkat, sedangkan dosa besar yang terbesar adalah yang terkait dengan hak Allah (ibadah) yaitu mempersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah mengatakan, “Maka jelaslah berdasarkan ayat ini bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar.” (Fath al-Majid, hal. 70)
-
Tauhid rububiyah -pengakuan Allah sebagai satu-satunya pencipta- sudah tertanam di dalam hati manusia (lihat Shahih Bukhari, Kitab Tafsir al-Qur’an, hal. 924)
-
Yang dimaksud menjadikan sekutu bagi Allah adalah beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada-Nya. Artinya seseorang beribadah kepada Allah dan juga kepada selain Allah (lihat Shahih Bukhari, Kitab Tafsir al-Qur’an, hal. 1003).
-
Tauhid rububiyah merupakan dalil atas tauhid uluhiyah. Orang yang mengakui bahwa Allah yang menciptakan dirinya maka sudah semestinya dia mempersembahkan ibadahnya hanya kepada Allah. Oleh sebab itu Nabi mengatakan bahwa dosa terbesar itu -yaitu syirik- adalah, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Sebagaimana Allah tidak bersekutu dalam hal rububiyah (penciptaan, penguasaan, dan pengaturan alam) maka demikian pula dalam hal uluhiyah. Metode semacam ini sering kita temukan dalam al-Qur’an. Contohnya, firman Allah (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21). Tauhid rububiyah merupakan pintu gerbang menuju tauhid uluhiyah (lihat Kitab Tauhid li Shaffil Awwal, hal. 36)
-
Bertanya kepada ahli ilmu atau ulama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui perkara apa saja.” (QS. an-Nahl: 43)
-
Perbuatan membunuh anak karena takut dia makan bersama orang tuanya (alasan ekonomi) adalah sebuah tindakan biadab (lihat Shahih Bukhari, Kitab al-Adab, hal. 1239)
-
Perzinaan adalah perbuatan yang sangat keji dan dosa yang sangat besar (lihat Shahih Bukhari, Kitab al-Muharibin, hal. 1368)
-
Hamba dan perbuatannya adalah ciptaan Allah ta’ala (lihat Shahih Bukhari, Kitab at-Tauhid, hal. 1494). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.” (QS. ash-Shaffat: 96). Meskipun demikian, perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak di bawah tekanan dan dia melakukan sesuatu dengan pilihan dan kemampuannya sendiri. Oleh sebab itu, pelaku maksiat tidak boleh berdalil dengan takdir untuk membenarkan kemaksiatannya. Sesungguhnya berdalih dengan takdir untuk membenarkan kemaksiatan merupakan karakter orang-orang musyrikin. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang berbuat syirik itu benar-benar akan mengatakan; Seandainya Allah menghendaki niscaya kami tidak akan berbuat syirik demikian pula bapak-bapak kami. Dan kami juga tidak akan pernah mengharamkan apapun -yang sebenarnya tidak haram, pent-. Demikian itulah tindakan pendustaan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka sampai mereka merasakan hukuman Kami…” (QS. al-An’am: 148)
-
Kewajiban Nabi adalah sekedar menyampaikan risalah/wahyu dan ketetapan dari Allah, bukan menyampaikan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu dan perasaannya, ataupun menampung keinginan dan paham kebudayaan kaumnya terhadap agama ini. az-Zuhri rahimahullah berkata, “Risalah berasal dari Allah ‘azza wa jalla. Kewajiban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyampaikannya. Adapun kewajiban kita adalah taslim/pasrah.” (lihat Shahih Bukhari, Kitab at-Tauhid, hal. 1496-1497). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dengan dasar hawa nafsunya, akan tetapi itu adalah semata-mata wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan -wahyu- dengan jelas.” (QS. al-Ankabut: 18). Oleh sebab itu, Allah menyebut orang yang menaati Rasul telah menaati Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Sehingga ini semua menjadi bantahan yang sangat jelas bagi kaum Liberal dan Pluralis yang beranggapan bahwa ajaran al-Qur’an yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah produk budaya, bukan wahyu yang suci dan harus dijunjung tinggi! Maha suci Allah dari busuknya keyakinan mereka… Inilah akibatnya -wahai saudaraku- tatkala manusia berpaling dari manhaj salaf, maka yang terjadi adalah kerancuan, kebimbangan, dan kerusakan akal yang pada akhirnya akan menyeret pelakunya ke jurang kehancuran! Maha benar Allah dengan firman-Nya (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengkuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah pun telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
-
Membunuh jiwa yang diharamkan adalah dosa besar, maka bagaimanakah lagi jika yang dibunuh adalah anaknya sendiri? Demikian juga, berzina adalah dosa besar, maka bagaimanakah lagi jika yang menjadi korban -suka atau tidak suka- adalah istri tetangganya?
-
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan kepada umat manusia untuk menjaga agama, nyawa, dan kehormatan mereka. Karena perkara-perkara ini termasuk dalam maqashid syari’ah yang harus dijaga.
-
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa sebesar apapun kebencian orang terhadap pembunuhan dan perzinaan, maka kebencian mereka terhadap kemusyrikan harus lebih besar dari itu semua. Karena syirik adalah sebesar-besar dosa besar! Bahkan, meskipun syirik tersebut digolongkan dalam syirik ashghar yang tidak sampai membuat pelakunya keluar dari agama secara total, maka kebencian kita kepadanya harus lebih besar! Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh, aku bersumpah dengan nama Allah tapi dusta itu lebih aku sukai daripada bersumpah dengan selain nama Allah meskipun jujur.” (dinukil dari Fath al-Majid, hal. 402). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalau sikap seperti itu yang diterapkan terhadap syirik ashghar, lantas bagaimanakah lagi sikap terhadap syirik akbar yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka?” (Fath al-Majid, hal. 402). Maka perhatikanlah diri kita masing-masing, wahai saudaraku. Seberapakah kualitas kebencian kita kepada syirik, ataukah kita justru meremehkan dan seolah menganggap kita pasti terbebas darinya? Allahul musta’an.